Sunday, May 10, 2015

Gerimis di Mata Ini tak Kunjung Reda, Nak!




Gerimis turun di Bandar Udara Changi, Singapura, saat saya berada di pesawat SQ yang akan menerbangkan saya ke Jakarta. Penerbangan kedua di pagi yang dingin. Jam menunjuk angka  06.40 waktu setempat. Saya mengintip butiran air yang mengalir di jendela, rintik yang berjatuhan menimpa sepanjang sayap pesawat, dan aspal landasan pacu yang hitam pekat karena basah.
Pun ada gerimis di mata saya sejak penerbangan pertama dari Bandara Tullamarine, Melbourne, pukul 24.00 semalam. Ketika antri check-in hingga tersandar di kursi ruang tunggu rintik seperti tak terbendung. Rintik yang menyatu dengan rintih. Berkali-kali saya menyembunyikan muka dengan kedua telapak tangan atau menunduk dalam-dalam sehingga orang-orang di sekitar tidak mengetahui betapa mata saya sangat basah. Jika pun ada yang menjedai gerimis yang terus berjatuhan itu tentulah tarikan nafas berat dan dalam sambil memejamkan mata.


Bayangan bocah kecil berusia hampir dua setengah tahun terus mengisi pikiran saya. Bocah yang sangat merindui saya dan saya juga merinduinya; yang begitu riang menyapa saya melalui telepon dua hari yang lalu; yang menyebut-nyebut nama saya di lelap tidurnya. Bocah yang telah terbaring kaku dan tubuh yang dingin; yang telah menyepi dalam tidur panjang; yang ruhnya telah kembali pada yang Maha Mengasihinya.


Pikiran saya sesungguhnya telah bersama bocah yang di hari ketujuh kelahirannya saya sematkan nama Aufa, namun ruang dan waktu tidak memungkinkan fisik kami bersentuhan. Perjalanan panjang kurang lebih 12 jam Melbourne-Singapore-Jakarta-Makassar adalah batasan ruang dan waktu yang saya harus lalui dengan sabar. Inilah ujian kesabaran kedua setelah ujian kesabaran sebelumnya saat kali pertama mendengar kabar duka tersebut. Apakah ujian kesabaran selanjutnya, seperti bila terkenang Aufa kelak, pun akan sanggup saya lewati?
Minggu (26/4) melalui pesan singkat bundanya mengabari saya bahwa Aufa demam. Senin (27/4) saya meneleponnya dan saya menangkap betapa senangnya dia mendengar suara saya. Seperti berusaha melepaskan diri dari demam, Aufa memanggil nama saya berulang-ulang:”Ayah...ayah...ayah!” Selasa (28/4) saya mendapatkan kabar demam Aufa sudah turun. Namun, masih sangat pagi di Rabu (29/4) sebuah pesan datang: Aufa masuk rumah sakit. Aufa dilarikan ke rumah sakit pukul 03 dinihari waktu Makassar setelah menangis sangat keras seperti menahan rasa sakit di bagian perut. Demamnya tinggi lagi dan setiap asupan makan dan minum dimuntahkannya.


Detik ke menit ke jam saya ikuti perkembangan Aufa dari ruang yang sangat jauh darinya. Menyelingi doa-doa tidak pernah putus untuk kesembuhan Aufa, saya merapikan kamar tidurnya. Memasang seprei dan selimut yang kini wangi semerbak habis dicuci. Dalam rencana, Minggu(3/5) saya akan menyusul ke Makassar untuk menjemput mereka (istri, Amira, Ayla, dan Aufa) lalu balik ke Melbourne Sabtu (9/5). Tikar baru pun siap dipasang di ruang keluarga tempat Aufa menghabiskan sebagian waktunya bermain. Saya merapikan mainannya agar sekembali ke Melbourne Aufa bisa langsung bersenang-senang.
Menjelang sore di Melbourne dan siang Makassar pesan singkat itu benar-benar membuat saya tersentak. Terdiam sangat lama karena begitu sulit memercayainya. Sejurus kemudian tangis saya pun pecah. Tubuh saya gemetaran lalu tersungkur di lantai. Saya bangkit  meraih HP untuk (lagi) membaca  pesan singkat tersebut sambil berharap ada mukjizat yang merubah pesan tersebut. Tetapi, tangis saya pecah lebih keras karena isi pesan tidak berubah: Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, Aufa telah meninggalkan kita semua.


Adakah kabar yang lebih merisaukan hati selain kabar tentang sang belahan jiwa yang terkulai sakit? Adakah kabar yang lebih mencemaskan selain kabar bahwa sang kekasih hati tergolek tak berdaya dengan kondisi kritis? Adakah kabar yang lebih menggetarkan selain kabar si buah hati telah berpulang sementara kita tidak menyaksikannya? Air mata yang risau, yang cemas, dan yang gemetaran sungguh tidak akan cukup.
Gerimis di Changi seperti terhubung dengan gerimis yang mengiringi perjalanan dua jam Makassar-Jeneponto. Kenapa gerimis ini seolah-olah mengikuti saya? Apakah karena hulunya ada di mata saya? Gerimis yang berjatuhan dalam sunyi; yang membasahi duka; yang mengalirkan sendu.


Saya telah berdiri di samping mata air kehidupan saya. Mata air yang memenuhkan banyak gerimis di mata saya; gerimis suka cita kala menyambut kelahirannya dulu; gerimis kebahagiaan menyaksikan dia tumbuh;  gerimis duka saat melepaskan kematiannya kini.
Aufa adalah mata air kehidupan saya karena darinya saya mendapatkan banyak pelajaran kehidupan.  Aufa yang akan menyambut semua orang yang menghampirinya, yang menyapa setiap orang yang ditemuinya, yang sepenuh hati membalas pelukan siapa pun yang memeluknya; dan yang akan mengucapkan terlebih dahulu kata ‘tettyu’ (thank you) usai mendaratkan ciuman kepada siapa saja yang meminta dicium.

Saya mengusap kepalanya, membelai rambutnya, mencium pipinya sebelumnya menggendongnya ke tempat di mana jasadnya akan terbaring selamanya.

Entah sampai kapan gerimis di mata saya akan reda. Biarlah bersemayam selamanya.
Aufa, berangkatlah Nak! Allah yang Maha Rahiim sangat menyayangimu...

Makassar, Rabu, 6 Mei 2015


NB:
Terima kasih kepada kawan-kawan, bapak-ibu di Kelurahan Brunswick.  Terima kasih Ibu Tiwik sekeluarga, Ibu Dharma sekeluarga, Ibu Tia/Pak Agus, Pak Luhut sekeluarga, Ibu Yasmine sekeluarga, Pak Adcha/ibu Diyah, Mas Arief sekeluarga, Pak Ardhi/ibu Rini sekeluarga, Pak Dian/Ibu Zubeth sekeluarga,  Kang Erry  & keluarga, Mas Tulus Mugiyanto & keluarga, Mas Priyo, Kang Wawan, Mas Binanto, Mas Lukman, Mas Bambang, Mas Romi, Pak Lurah Brunswick-Joey, Mas Wawan, Mas Ganta, dan seluruh kawan-kawan, bapak ibu yang lainnya yang karena keterbatasan saya sehingga tidak dapat menuliskan nama-nama mereka. Terima kasih atas doa-doa dan bantuannya menguruskan keberangkatan saya Melb-Mks. Juga kepada pengurus PBrunswick yang berinisiatif menyelenggarakan shalat ghoib. Semoga Allah SWT membalaskan segala kebaikan-kebaikan tersebut dengan pahala, aamiin....

4 comments:

tiwi-lioness.blogspot.com said...

Mbak Ana dan Pak Ahmad, I can't say a single word. But our grieving hearts are with you. Aufa is waiting for his parents and sisters at the gate of paradise. Amiin.

Unknown said...

Mbak Ana dan Pak Ahmad, sama seperti nbak Tiwi. Kami sekeluarga pun tersayat hati ketika mendengar kabar itu dalam perjalanan dari Jakarta menuju Melbourne hari itu. Kesedihan dan ketidakpercayaan bercampur aduk. Kami turut mendoakan semoga keluarga mbak Ana dan pak Ahmad dipertemukan kembali dengan Aufa di surga....aamiin

Muh. Akil Rahman said...

Lagi-lagi Allah Ta'ala menunjukkan kekuasaan dengan kasih sayang Nya yang hanya dengan hati lah manusia bisa memahaminya dan menerimanya dengan ikhlas...Semua dari Allah Ta'ala dan akan semua kembali kepada Nya...Al Fatihah untuk Nakda Aufa...

doni said...

tetap semangat,,
jalani hidup ini,,